Erau adalah upacara adat Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura yang diadakan hampir setiap tahun. Namun, tradisi ini sempat terhenti pada 2020 lalu karena kasus Covid-19 meningkat. Kini, seiring landai nya kasus Covid-19, Erau direncanakan kembali selama 13 hari, dimulai 20 September hingga 3 Oktober 2022. Lantas, seperti apa sejarah acara adat ini ?
Budayawan Kutai Kartanegara, Awang Rifani, memperkirakan Erau sudah ada sejak abad ke-13 sebelum masehi. Raja pertama Kutai, Aji Batara Agung Dewa Sakti dari 1300 hingga 1325, disebut yang pertama memulainya. Suatu hari ketika ia hendak mandi, kesultanan mengadakan Erau Tijak Tanah sebagai bentuk penghormatan. Sejak itulah, Erau terus diadakan setiap tahunnya hingga saat ini.
“Erau sudah ada sejak awal zaman kerajaan dan kesultanan dulu,” jelas Awang Rifan, Sabtu, 17 September 2022.
Mulai dijelaskannya, arti Erau tertulis jelas dalam buku Salasilah Kutai yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1981. Secara terminologi, Erau berasal dari kata Eroh (bahasa Kutai) yang artinya ramai, hilir mudik, bergembira, atau berpesta.
Menurut Awang Rifani, upacara Erau kini telah berkembang. Berbagai kegiatan menarik, seperti kesenian, ketangkasan, olahraga dan hiburan rakyat, telah di tambahkan dalam prosesinya. “Tujuannya, menyatukan masyarakat dan kerabat kesultanan,” beber dosen di Universitas Kutai Kartanegara ini.
Ada beberapa jenis Erau yang pernah digelar. Pertama, disebutnya yakni, Erau Batu Samban, Erau jenis ini hanya pernah diadakan Raja Aji Batara Agung Dewa Sakti. Ia mengadakannya selama 21 hari dan 22 malam untuk meningkatkan ilmu kesaktian. Jenis yang kedua yakni Erau Tepong Tawar yang dilaksanakan pada waktu tertentu. Dulunya, Erau Tepong Tawar dilaksanakan selama 14 hari 15 malam namun kini dipersingkat menjadi 7 hari 8 malam.
Jenis berikutnya adalah Erau Pelas Tahun yang dilaksanakan para kerabat kesultanan untuk membersihkan segala macam hal yang mengganggu sumber-sumber kehidupan di wilayah kerajaan. Jenis yang terakhir yakni Erau Beredar. Jenis ini biasa digelar untuk pengangkatan, penabalan, atau segala hal yang berkaitan dengan tahta.
“Dalam pelaksanaan Erau, sultan melakukan Tuhing atau tidak menginjak tanah pada waktu tertentu,” tambahnya.
Makna Belimbur
Pada kesempatan berbeda, Sekretaris Kesultanan Ing Martadipura, Awang Yacoub Luthman, mengatakan saat Aji Raja Mahkota Mulia Alam menjadi Raja Kutai pada 1525-1600, upacara Erau semakin berwarna. Nilai Islami mulai melekat dalam setiap kegiatan erau.
“Sejak saat itu, Erau menjadi kegiatan kebudayaan yang berdampingan dengan agama. Dalam beberapa kali kesempatan, terucap rasa syukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Tuhan Yang Maha Esa,” beber Awang Yacoub Luthman. “Dengan demikian, Erau adalah bagian rasa syukur kesultanan dan masyarakat di Kesultanan Kutai,” lanjutnya.
Selain itu, Erau juga memiliki makna sebagai pembersihan atau mensucikan diri. Oleh karena itu, pada penutupan upacara Erau, dilaksanakan belimbur atau prosesi siram-siraman. “Dengan memercikkan air bersih kepada masyarakat diharapkan dapat menjauhkan diri dari berbagai macam penyakit dan mara bahaya,” pungkasnya.