KUTAI KARTANEGARA – Masih rendahnya keterlibatan perempuan dalam dunia politik di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) merupakan tantangan yang perlu diatasi dengan serius. Untuk meningkatkan keterlibatan perempuan dalam politik, diperlukan upaya yang komprehensif, seperti pemberian pelatihan kepemimpinan, penyediaan akses yang adil terhadap sumber daya politik, penghapusan hambatan-hambatan struktural, dan peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesetaraan gender di bidang politik.
Berdasarkan data yang dimiliki oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan (DP3A) Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) keterlibatan perempuan dalam dunia politik masih terbilang rendah atau dibawah target yang telah ditentukan yakni 25 persen.
Hal tersebut diungkapkan langsung oleh Kepala DP3A Kukar, Bambang Arwanto, Selasa (30/4/2024). Menurut Bambang meskipun keterlibatan perempuan dalam politik di Kaltim dan Kukar belum mencapai mandatori yang ditetapkan sebesar 25 persen, peningkatan dari 15 persen menjadi 17 persen di Kukar adalah langkah positif yang menunjukkan kemajuan dalam mencapai tujuan kesetaraan gender di ranah politik.
“Tetapi di Kaltim itu rata-rata 20 persen. Sedangkan di Kukar 15 persen, tapi ada kenaikan 17 persen. Dan ini memang belum sesuai aturan yang di mandatori, namun ada peningkatan, ” ujarnya.
Maka dari itu, sangat penting untuk terus mendorong peningkatan keterlibatan perempuan dalam politik melalui berbagai cara, seperti memberikan dukungan finansial, pelatihan kepemimpinan, dan sosialisasi kesadaran akan pentingnya peran perempuan dalam pengambilan keputusan politik.
“Dengan upaya yang berkelanjutan, diharapkan keterwakilan perempuan dalam politik dapat meningkat sesuai dengan mandatori yang ditetapkan, “ucapnya.
Kurangnya peran perempuan di dunia politik memiliki akar yang kompleks, Bambang mengakui yang menjadi penyebab salah satunya adalah budaya patriarki yang kuat. Budaya patriarki menempatkan nilai-nilai, kekuasaan, dan hak kepemilikan secara dominan pada pria, sehingga mengakibatkan akses perempuan terhadap sumber daya menjadi terbatas.
Hal ini tercermin dalam berbagai aspek kehidupan, seperti kebijakan, teknologi, dan pendidikan, di mana perempuan seringkali dianggap kurang berdaya atau tidak memiliki kapasitas yang sama dengan pria.
Untuk itu, kata Bambang, peran advokasi untuk kesetaraan gender sangat penting dalam melawan budaya patriarki ini. Melalui pendidikan, kesadaran, dan perubahan kebijakan yang inklusif, perempuan dapat diberdayakan untuk mengambil peran yang lebih aktif dalam politik dan berkontribusi secara signifikan dalam pembangunan masyarakat.
“Penting untuk terus mendorong transformasi budaya menuju kesetaraan gender agar perempuan memiliki akses yang sama dalam segala bidang kehidupan, termasuk politik, ” tutupnya. (adv/dp3akukar)