Kalimantan TimurKutai Kartanegara

Warga Jahab Protes Perkebunan Mereka Terdampak Pembukaan Lahan, Kelurahan Fasilitasi Audiensi

penakaltim.id Puluhan warga Kelurahan Jahab, Kecamatan Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara, menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor kelurahan pada Rabu, 16 Juli 2025. Mereka menuntut kejelasan atas terdampaknya lahan pertanian dan perkebunan milik Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) yang diduga dilakukan oleh PT Budi Duta Agro Makmur (BDA).

Aksi ini direspons langsung oleh pihak Kelurahan Jahab yang menggelar audiensi dengan perwakilan sejumlah kelompok tani. Dalam pertemuan tersebut, petani menyampaikan keluhan terkait lahan seluas 20 hektare yang telah dikelola sejak lama, namun kini digusur oleh perusahaan tanpa pemberitahuan.

Ketua kelompok Tani keluarga Bersatu, Mohammad Syukriansyah menjelaskan bahwa lahan yang digarap kelompoknya dan sejumlah gabungan kelompok tani lainnya berada di wilayah Kilometer 10, Jahab. Di atas lahan itu, petani telah menanam berbagai jenis tanaman seperti karet, petai, langsat, durian, kayu sungkai, hingga tanaman produktif lainnya. Dari

“Tanam tumbuh kami terdampak perluasan lahan perusahaan, tanpa pemberitahuan. Kami sudah meminta perusahaan menghentikan kegiatan sejak awal Juli 2025, tapi mereka tetap melanjutkan land clearing,” Mohammad kata dalam audiensi.

Menurut pria itu, lahan tersebut dikelola secara resmi sejak 2010 melalui program rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) yang mendapat izin dari pemerintah daerah dan Dinas Kehutanan Kukar. Petani juga rutin menerima bantuan bibit dari pemerintah.

“Artinya kami memiliki legalitas dalam pengelolaan. Tapi perusahaan masuk begitu saja tanpa musyawarah. Setidaknya mereka mengganti rugi tanam tumbuh kami,” ujarnya.

Sementara ini kata Mohammad, sekarang pihak PT BDA bersikukuh bahwa lahan yang mereka kelola merupakan bagian dari wilayah konsesi perusahaan yang berstatus Hak Guna Usaha (HGU). Namun warga menilai klaim tersebut perlu ditinjau ulang mengingat adanya aktivitas pertanian warga yang telah berlangsung belasan tahun. Dismping itu, aktivitas tersebut akhirnya merugikan dan mendampak sejumlah kelompok tani di dua kelurahan, yakni Jahab dan Loa Ipuh Darat.

 

Pria berusia 57 tahun ini kemudian menerangkan persoalan ini sebelumnya telah menjadi perhatian Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. Pada 2 Juni 2025 silam, telah digelar rapat dengar pendapat (RDP) di DPRD Kaltim. Namun dalam forum itu, perwakilan perusahaan disebut menolak menandatangani kesepakatan hasil rapat.

Warga berharap pemerintah daerah dan provinsi segera turun tangan untuk memediasi konflik agar tidak terus berlarut dan merugikan petani kecil. “Kami hanya ingin kejelasan soal ganti rugi dan status lahan. Jangan sampai petani yang sudah mengelola bertahun-tahun justru jadi korban,” tegasnya.

Diketahui sebelumnya, Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Timur merekomendasikan penghentian sementara aktivitas pembukaan lahan dan penanaman oleh PT Budi Duta Agro Makmur (BDA). Rekomendasi ini dikeluarkan menyusul Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar di Gedung E DPRD Kaltim, Senin, 2 Juni 2025.

Langkah ini diambil sebagai respons atas sengketa lahan antara PT BDA dengan Gabungan Kelompok Tani Sejahtera yang mengklaim telah lama mengelola lahan dalam wilayah konsesi perusahaan. Wakil Ketua Komisi II DPRD Kaltim, Sapto Setyo Pramono, menyampaikan bahwa penghentian aktivitas perusahaan ini ditujukan untuk memberikan ruang verifikasi secara menyeluruh atas klaim lahan yang dipermasalahkan.

“Perusahaan kami minta menghentikan kegiatan land clearing dan penanaman di HGU 01 selama satu setengah bulan. Tujuannya agar kita bisa memverifikasi kebenaran klaim masyarakat secara bersama-sama di lapangan,” ujar Sapto.

Anggota legislatif tersebut kemudian menjelaskan, rekomendasi tersebut merujuk pada surat dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nomor HT.01/542-400.19/IV/2024 tertanggal 23 April 2024. Dalam surat itu disebutkan bahwa status HGU 01 masih dalam proses perpanjangan.

Ia mengingatkan agar kedua pihak dapat saling menghormati proses hukum yang berjalan. “Jangan sampai masyarakat yang hanya melakukan tanam tumbuh tanpa dokumen hak atas tanah kemudian menjadi korban. Tapi kita juga tidak ingin perusahaan dipersalahkan sepihak,” tegasnya.

Sengketa lahan antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan seperti ini, menurut Sapto, bukan hal baru di Kaltim. Dalam kasus ini, kelompok tani mengklaim menggarap lahan secara turun-temurun, sementara PT BDA menyatakan bahwa lahan tersebut berada dalam wilayah HGU yang sah.

Untuk itu, DPRD meminta semua pihak menyampaikan data dan dokumen pendukung paling lambat pada 9 Juni 2025. Dokumen yang diminta meliputi peta perizinan, kewajiban plasma, hingga kronologi proses perizinan.

“Kalau lewat dari itu, kami tidak akan lagi memediasi dan menyarankan diselesaikan lewat jalur hukum,” ujarnya.

Komisi II juga menyoroti lemahnya implementasi Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perlindungan Tanah Wilayah, termasuk hutan rakyat dan tanah adat. Padahal, menurut Sapto, aturan tersebut dapat menjadi landasan kuat dalam menyelesaikan konflik agraria di daerah.

Dalam RDP tersebut, Komisi II turut merekomendasikan PT BDA untuk segera menyelesaikan kewajiban ganti rugi dan tali asih atas tanaman tumbuh. Komitmen ini mengacu pada kesepakatan tertanggal 19 September 2024 serta hasil rapat lanjutan pada 28 Mei 2025 di Kantor Bupati Kutai Kartanegara.

Untuk memperjelas legalitas HGU dan batas konsesi, Komisi II akan berkonsultasi langsung ke Kementerian ATR/BPN di Jakarta. Dalam kunjungan tersebut, DPRD akan mengajak serta perwakilan Organisasi Perangkat Daerah (OPD), masyarakat, dan pihak perusahaan.

“Kalau perlu kita bentuk panitia khusus (pansus), agar persoalan ini tidak berlarut. Tapi kami berharap niat baik dari kedua belah pihak lebih diutamakan daripada terus membawa konflik ini ke ranah hukum,” ucap Sapto.

Komisi juga berencana turun langsung ke lokasi sengketa bersama OPD, masyarakat, dan perusahaan untuk memverifikasi keberadaan lahan yang disengketakan. Hasil dari kunjungan ini akan dijadikan bahan pertimbangan dalam RDP lanjutan serta laporan resmi ke pemerintah pusat.

Selain itu, DPRD Kaltim meminta Kementerian ATR/BPN pusat untuk memberikan data peta dan koordinat HGU 01 secara lengkap guna mempercepat penyelesaian sengketa.

“Kita ingin ini diselesaikan dengan kepala dingin. Tidak ada yang saling menyalahkan. Tapi kalau semua itikad baik sudah habis, kami tidak ragu menyarankan penyelesaian lewat pengadilan atau membentuk pansus DPRD,” tutup Sapto.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button